Like...

Celine

Celine
Hahhhh!!!

D'cost

D'cost
Old Team

Waktu sedang galau

Waktu sedang galau
Jarak dekat

Barusjahe

Barusjahe
Kerangen pulo corp

Celine

Celine
Celine

Celine

Celine
Celine

Jambur Dalihan Na Tolu

Jambur Dalihan Na Tolu
Kede kopi

Grave

Grave
Nek Tigan

Tempo dulu alias Sinai

Tempo dulu alias Sinai
Rumah adat Karo

Ersatur

Ersatur
Kesenangan saat main catur

Saturday 4 December 2010

Jejak pengacara Batak


Profesi pengacara sudah ada di negeri ini sejak zaman Hindia Belanda; namun pribumi yang menjadi advokat jauh belakangan saja muncul dalam jumlah signifikan. Apalagi pribumi Batak. Sistem hukum kolonial yang dualistiklah penyebab utamanya.

Di masa Hindia Belanda dua jenis sistem peradilan berlaku secara terpisah, yaitu untuk masyarakat Eropa dan yang dipersamakan (Residentie-gerecht, Raad van Justitie dan Hoge rechtshof) dan untuk pribumi atau yang dipersamakan (Districhtsgercht, Regentschaps-gerecht dan Landraad). Hukum acaranya (pidana dan perdata) juga tak sama. Untuk orang Eropa perdatanya Reglement op de rechtsvordering (disingkat Rv.) dan pidananya Reglement op de strafvordering (Sv.). Adapun untuk pribumi satu saja acara perdata dan pidanya yakni Herziene Indonesisch Reglement (HIR). Tak seperti di Rv dan Sv, di HIR tak dikenal kewajiban peng(k)uasaan hukum kepada pengacara. Juga tak ada ketentuan hukum bahwa setiap terdakwa berhak dibela oleh seorang lawyer. Sebab itu, kaum pribumi tak begitu membutuhkan advokat. Tak heran kalau profesi pengacara lebih berkembang di kalangan masyarakat Eropa dan Timur Asing (Cina, terutama). Adnan Buyung Nasution mencatat (1981) untuk bangsa Indonesia yang berjumlah 70 juta sampai tahun 1940 hanya 274 trained lawyers (lulusan sekolah hukum) dan dari jumlah ini hanya sekitar 50 advokat.

Advokat pertama orang Indonesia, menurut Adnan Buyung, adalah Mr. Besar Martokusomo yang membuka kantor di Tegal dan Semarang sekitar tahun 1923. Sedangkan pengacara Batak pertama ia tak mencatat. Orang seperti Mr. Amir Syarifuddin Harahap dan Mr. Elkana Tobing, meski termasuk angkatan pertama, kemungkinan bukan pelopor. Desember 1937 Amir Syarifuddin telah terdaftar sebagai advokat di Mahkamah Agung (Hooggerechtshof). Di Sawah Besar ia sempat berpraktik bersama Muhammad Yamin. Setelah kongsi ini pecah, ia berpraktik setahun di Sukabumi. Kliennya terutama orang-orang Cina. Adapun Elkana Tobing, seperti dicatat Todung Mulya Lubis (1986), bersama Mr. Alwi St. Osman pernah mengelola biro konsultasi hukum yang didirikan di Batavia tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker dari Rechtshoge School (Batavia). Biro ini dimaksudkan untuk membantu kaum miskin. Jadi, kiprah Besar Martokusomo jauh lebih awal dibanding Amir Syarifuddin dan Elkana Tobing.

Setelah Indonesia berdaulat tahun 1950, sistem hukum yang berlaku di negeri ini pun ditunggalkan. Hukum kolonial Belanda yang dipakai, namun sayangnya hukum acaranya bukan Rv. dan Sv. yang lebih demokratis, melainkan HIR. Begitupun, menurut catatan Adnan Buyung, sampai tahun 1959 keadaan peradilan di Indonesia cukup baik karena hakim, jaksa, dan advokat yang sebagian besar masih didikan Belanda punya integritas. Kemerosotan parah terjadi pada periode 1959-1965 akibat intervensi eksekutif yang terlalu jauh. Profesi pengacara sampai mati suri di masa demokrasi terpimpin ini. Keadaan membaik baru setelah pemberlakuan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970 oleh rezim baru. UU hasil revisi ini menjamin penuh hak seseorang untuk mendapatkan bantuan hukum. Kemajuan regulasi ini telah menjadi titik anjak bagi para advokat untuk menggeluti profesinya sepenuh hati.

Berdirinya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Oktober 1970 menandai kebangkitan kaum advokat Indonesia. Adalah Adnan Buyung Nasution, pada kongres III Persatuan Advokat (Peradin) tahun 1969, yang melontarkan ide mendirikan LBH kepada Mr. Lukman Wiradinata (mantan menteri kehakiman) dan Suardi Tasrif. Ketua dan sekjen Peradin itu setuju. Mendapatkan bantuan dari Gubernur Ali Sadikin dan Ali Murtopo, LBH pun beroperasi sejak 1971 dengan penekanan pada bantuan hukum yang bertujuan mengubah struktur masyarakat (istilahnya: bantuan hukum struktural).

Sebagai pendiri dan direktur pertama LBH, Bang Buyung—begitu panggilan akrab dia—telah mencetak banyak kader yang kemudian menjadi pengacara terkemuka. Di antaranya adalah Todung Mulya Lubis dan Luhut M.P. Pangaribuan. Johnson Panjaitan yang kemudian berkibar di PBHI (pecahan YLBHI) pun bisa disebut karena ia banyak menimba ilmu dan sempat menjadi voluntir di LBH. Adnan Buyung, mantan jaksa, memang punya banyak kelebihan. Seorang yang mencatat kelebihan (tentu saja kekurangannya juga) itu adalah Tedjo Bayu. Putra Sudjojono, bapak senirupa modern Indonesia, ini sejak 1980 hingga 1996 menjadi anggota staf di markas LBH di Jalan Diponegoro, Jakarta.

Tedjo Bayu membedakan Adnan Buyung sebagai lawyer dan sebagai mentor atau pembimbing. Sebagai lawyer, di mata dia, lelaki flamboyan kelahiran Jakarta, Juli 1934 itu masih yang terbaik di Indonesia untuk bidang pidana. “Secara intelektual Bang Buyung tajam dan dia menguasai teknik beracara khas Eropa,” ujar Tedjo Bayu. Sebagai senior di LBH, lanjut dia, lelaki yang terkenal dengan rambut putihnya itu adalah peng(k)ader yang jempolan. “Dia berhasil memotivasi anak-anak muda. Saya lihat sendiri. ‘Kamu harus maju’, selalu ia ucapkan. Sering dia membawa mereka makan ke restoran-restoran besar. Tujuannya agar mereka mengenal macam-macam lingkungan pergaulan.”

Todung Mulya Lubis bisa dikatakan salah satu kader terbaik Buyung. Doktor hukum dari Universitas Berkeley, AS kelahiran Muara Botung, Sumut, Juli 1949 ini merupakan satu dari segelintir pengacara Indonesia yang diakui dunia internasional. Dialah pengacara majalah Time dalam perkara melawan Soeharto (perkembangan terakhir: di tingkat kasasi Time kalah dan didenda 1 triliun rupiah).
Berbicara tentang kepengacaraan modern Indonesia, akhirnya mau tidak mau kita harus bersentuhan dengan kepeloporan Adnan Buyung bersama lokomotif LBH-nya sebab dialah pionir. Setelah dia barulah muncul mereka yang bernama besar sekarang. Termasuk Batak lawyer seperti Yan Apul Girsang, Talas Sianturi, R.O. Tambunan, Albert Hasibuan, Maruli Simorangkir, Timbul Thomas Lubis, Otto Hasibuan, Palmer Situmorang, Indra Sahnun Lubis, Muchtar Pakpahan, atau Johny Simanjuntak (pengacara rakyat di Solo, kini anggota Komnas HAM), dan Ronggur Hutagalung (Bandung). Daftar nama yang panjang. Dan bisa jauh lebih panjang lagi kalau yang dari luar Jakarta turut dibilangi.




1001 Wajah
Seberapa banyak sebenarnya advokat Batak? Sulit menjawab sebab sejauh ini tidak ada data resmi. Tapi, sebagai gambaran bisa kita lihat data anggota Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), DKI Jakarta. Dari 1.432 anggotanya sekarang, 320 adalah Batak (diidentifikasi dari marga dan nama). Berarti 23%; angka yang besar tentunya jika mengingat Batak hanya 3,02 persen dari total penduduk Indonesia (menurut Sensus 2000 penduduk Indonesia 201 juta; Jawa sekitar 84 juta atau 41,7% dan Batak sekitar 6 juta—tentu saja angka ini kini sudah membengkak karena penduduk Indonesia sekarang lebih dari 220 juta).

Angka 320 baru untuk AAI DKI. AAI, organisasi yang kini dipimpin Denny Kailimang (ketua umum) dan Thomas E. Tampubolon (wakil ketua umum), punya sejumlah cabang. AAI sendiri hanyalah salah satu organisasi di bawah Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Masih ada Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Di saban lembaga ini selalu ada orang Batak-nya. Belum lagi di lembaga bukan anggota Peradi. Jadi bisa dibayangkan betapa banyak Batak pengacara di Republik. Dengan sendirinya wajah mereka pun 1.001 macam kalau bukan 1.002, dengan spektrum dari hitam ke putih. Banyak yang bengkok, namun ada juga yang lurus.

Lantas, dengan jumlah pemain yang bejibun di lapangan cari makan yang tak begitu luas (perkara tak selalu ada setiap hari apalagi di kota kecil luar Pulau Jawa), bagaimana gerangan keadaan penghidupan mereka secara umum? Apakah banyak yang berkelimpahan?

Ternyata advokat yang makmur karena berhonor besar seperti Albert Hasibuan, Luhut M.P. Pangaribuan, dan angkatan Juan Felix Tampubolon tadi segelintir saja. “Di Indonesia pengacara, termasuk yang Batak, kebanyakan kere karena jarang punya perkara. Kantor pengacara banyak yang tutup; saya tahu persis. Yang kaya itu paling tak sampai dua setengah persen.” ungkap Irawan Saptono. Saat ini Direktur Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta, Irawan sarjana hukum dari Universitas Satya Wacana, Salatiga, sempat juga berkecimpung di dunia pengacara. Angka yang ia sebut dekat dengan angka perkiraan Junimart Girsang dan sejumlah advokat Batak yang menjadi narasumber TATAP.

Secara alami tentu pengacara bernama besarlah yang lebih berpeluang mendapatkan klien atau kasus kakap. Seperti firma Kevin Lomax di New York dalam film terkenal Devil’s Advocate (arahan sutradara Taylor Hackford dengan pemain Keanu Reeves dan Al Pacino) big name, ketersediaan sistem pendukung termasuk SDM cerdas-trampil, kemampuan lobi, dan sebaran pengaruh menjadi keunggulan mereka. Di samping krebilitas, tentunya. Dalam konteks Indonesia sekarang perlu ditambahkan satu faktor lagi: keridhaan atau kerelaan menempuh cara apa pun di tengah kebersimaharajaan mafia peradilan. Fee para pemain kakap dengan sendirinya akan kakap juga. Rega gawa rupa (baca: rego gowo rupo), kata peribahasa Jawa. Artinya, harga seturut rupa.

Bagaimanapun, ruang untuk mereka yang bukan pemain besar terbuka juga. Untuk mereka tersedia klien yang bukan kakap. Hanya saja pertarungan di lapangan penghidupan mereka jauh lebih berat. Soalnya, di dunia mereka ini banyak pemain sekaligus memperebutkan lahan penghidupan yang jauh lebih sempit. Kalau tak kuat bertarung niscaya akan lekas tersungkur dan setelah itu mampus.*


*Dikutip dari Majalah TATAP edisi 03 november 2007

No comments: